Tentang Alun-alun Kota Malang
Sebagaimana kota-kota di Jawa, Kota Malang juga memiliki alun-alun yang keberadaannya sering kali digambarkan sebagai inti kota atau “pusat” kekuasaan karena letaknya persis di depan kraton ataupun pendopo kabupaten yang jika diibaratkan: kraton atau pendopo kabupaten sebagai rumah, maka alun-alun adalah halamannya, keberadaan alun-alun menjadi sangat penting sebab alun-alun adalah pusat yang mengawali perkembangan kota.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Jo Santoso, ada beberapa kesimpulan mengenai alun-alun, pertama alun-alun melambangkan ditegakkannya sebuah sistem kekuasaan atas sebuah wilayah kekuasaan tertentu, tujuan dari penegakkan sistem kekuasaan tersebut dirupakan/dilaksanakan dengan harmonisasi antara mikrokosmos dan makrokosmos. Kedua, alun-alun berfungsi sebagai tempat semua perayaan dan upacara keagamaan yang penting. Ketiga, alun-alun merupakan tempat untuk mempertontonkan kekuasaan militer yang bersifat profane dan merupakan instrument dalam mempraktikkan kekuasaan sakral sang penguasa.(1)
Sebagai ruang yang memiliki sifat khusus dalam konsep kekuasaan, maka pemerintahan kolonial Belanda menaruh perhatian sejak mulai melaksanakan kekuasaannya di tanah air, dimanfaatkan untuk digelarnya kekuasaan baru di Jawa dengan ditandai dengan pembangunan rumah residen yang berhadapan langsung dengan kraton atau pendopo kabupaten. Dan hal ini secara simbolik diikuti pula dengan kenyataan yang berbeda, terkait dengan pemaknaan alun-alun itu sendiri. Alun-alun yang tadinya sangat formal dengan beragam ritual, menjadi ruang terbuka yang juga dimanfaaatkan oleh masyarakat untuk mencari mata pencaharian. Lebih urban dan pragmatis, bahkan gaya Eropa dimana penempatan simbol-simbol gaya hidup juga sempat diusung untuk memenuhi tampilan wajah alun-alun, hal ini terlihat di sekitar alun-alun Kota Malang yang lebih diwarnai dengan berdirinya pertokoan-pertokoan~hingga ketika artikel ini ditulis, keadaan juga semacam ‘demikian’.
Alun-alun utama Kota Malang memiliki perbedaan dengan alun-alun kebanyakan kota di Jawa, Alun alun yang dibangun pada tahun 1882(2) ini memiliki konteks dan konsep yang tidak lazim, dimana letak bangunan penting seperti pendopo kabupaten tidak berhadapan dengan kantor asisten residen, letak kantor residen berada di sebelah selatan alun-alun, sedangkan pendopo kabupaten terletak di sebelah timur dan tidak menghadap alun-alun.
Ada kemungkinan pembangunan alun-alun ini untuk kepentingan pemerintah kolonial, dimana Belanda ingin membentuk citra kolonial, alun-alun sebagai pusat kekuasaan administrasi kolonial, dan sebagai pusat kontrol atas produksi~dibuktikan dengan dibangunnya Javasche Bank dan Escompto Bank pada tahun 1915 yang terletak di utara alun-alun.(3)
Pembentukan citra ini juga dimungkinkan untuk meruntuhkan kewibawaan penguasa lokal yang pada akhirnya (tanpa diduga sebelumnya) memberi peluang bagi rakyat untuk melakukan penaklukan terhadap ‘pencitraan’ itu sendiri, hal ini dibuktikan dengan ‘pendudukan’ alun-alun oleh para pedagang makanan dan minuman. Inilah perlawanan nyata yang terjadi di alun-alun, meski bukan perlawanan fisik/perang, oleh para pedagang. Hingga saat ini, kehadiran para pedagang di alun-alun masih menjadi warna tersendiri bagi para pengunjung.
Segala upaya dilakukan oleh pemerintahan kolonial untuk membentuk citra dengan tumbuhnya bangunan administrasi yang mengitari alun-alun.
Kecuali Masjid Agung yang terletak di sebelah barat alun-alun, semua bangunan yang mengitari alun-alun adalah bangunan untuk kepentingan dan citra kolonial. Citra itu muncul beberapa lama setelah alun-alun Kota Malang dibangun pada 1882. Pada 1912 dibangun Gereja Protestan yang terletak di pojok luar barat laut alun-alun, di sebelah utara Masjid Agung, tepatnya di Aloon-aloon Koelon Straat. Keberadaan gereja ini sangat kuat mencitrakan dominasi ritual barat (Kristen) atas ritual pribumi yang disimbolkan oleh masjid yang berdiri jauhsebelum gereja tersebut berdiri.(4)
Usaha pemerintah kolonial untuk mendominasi ‘citra’ ini malah memunculkan kesadaran dalam masyarakat untuk melawan, tentunya merupakan perlawanan kultural~sebagaimana sifat budaya orang Jawa yang menabukan perlawanan secara fisik, ataupun melakukan aksi protes, hal ini dikenal dengan istilah ‘pasemon’ atau mengkritik secara halus.
Hingga artikel ini ditulis pun, alun-alun masih menjadi ruang terbuka bagi masyarakat meluangkan waktu untuk berwisata sekaligus merupakan tempat mencari rejeki bagi para pedagang.
(1) Jo Santoso, Arsitektur-Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa Jakarta: Centropolis, 2008), hlm 176
(2) Dewan Pemerintah Kota Malang, 40 Tahun Kota Malang (Malang: DPK Malang, 1954), hlm. 13
(3) Handinoto dan Paulus H. Soehargo, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang (Yogyakarta: ANDI, 1996), hlm. 52
(4) Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 175
Kamis, 29 Desember 2011
Tentang Alun-alun Kota Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar