Upaya pemerintah kolonial membangun citra melalui media alun-alun menemui hambatan yang berarti dengan didudukinya alun-alun oleh masyarakat pribumi. Perlawanan kultural dilakukan oleh masyarakat ketika ideologi agama juga memasuki wilayah ini.
Bagi warga pribumi Kota Malang yang taat memeluk ajaran Islam, maka wilayah Eropa semacam societeit atau bioskop adalah wilayah terlarang. Bagi kalangan ini perilaku Eropa yang berada di societeit adalah perilaku penuh dosa, dan wilayah tersebut tergolong wilayah haram dan harus dihindari.(1)
Citra yang dibangun melalui bangunan-bangunan kolonial malah meredup dengan munculnya Societeit dan Bioscoop Rex yang pada dasarnya malah membentuk kesadaran rakyat pribumi untuk melakukan perlawanan, kesadaran ini semakin menjadi-jadi ketika ada larangan bagi mereka untuk masuk ke kawasan kolonial tersebut.
Dengan hilangnya citra itu penguasa kolonial mulai mengabaikan makna kultural alun-alun yang pada akhirnya diinterpretasikan hanya sebagai ruang terbuka biasa, hal ini ditunjukkan dengan ditempatkannya jalur trem yang membelah alun-alun dalam posisi diagonal dari pojok barat laut hingga ke tenggara, bahkan halte trem dibangun persis di tengah-tengah alun-alun.
Sebagai tindak lanjut, pada tahun 1914 dalam rencana pembangunan (bouwplan) yang terdiri dari delapan tahapan pembangunan tata ruang kota, terdapat rencana pembangunan untuk menyiapkan pusat pemerintahan kota (balaikota) yang kemudian lebih dikenal dengan Gouverneur-Generaalbuurt, kawasan alun-alun ‘bunder’.
Setelah Kota Malang menyandang status gemeente pada 1914 maka dilaksanakanlah gagasan pemindahan pusat pemerintahan. Dan pada tahun 1922, pemerintahan Kota Malang pindah ke kawasan Alun-alun Bunder, terciptalah dua buah alun-alun di Kota Malang.
Keberadaan Alun-alun Bunder beserta kantor gemeente yang persis berada di selatan-nya terasa aneh karena keberadaannya justru seperti mengembalikan Kota Malang pada konsep kota tradisional Jawa yang sebenarnya. Kota-kota tradisional Jawa biasanya dibangun menghadap kea rah utara membelakangi laut selatan, sehingga alun-alun berada di utara kraton atau pendopo kabupaten, yang apabila ditarik sebuah garis imajiner maka akan menghubungkan laut selatan, kraton/pendopo,dan gunung.(2)
Belakangan hal ini diketahui terkait dengan konseptor pembangunan itu sendiri, Thomas Karsten yang berlatar belakang seorang sosialis-demokrat yang sangat anti kolonial.(3) dari sini terdapat upaya untuk kembali ke gagasan asli kota Jawa yang sebelumnya telah dirusak oleh sebuah rancang bangun kolonialis.
Perkembangan selanjutnya, pemaknaan alun-alun ini pun bergeser pada taman kota yang hingga artikel ini ditulis ‘demikian’ adanya. Air mancur yang pada masa kolonial digunakan sebagai penghias, kini telah menjadi sebentuk tugu yang menjulang tinggi ditengah alun-alun, disekitarnya dihias oleh taman bunga dan “berpagar.”
Fungsi yang masih tetap ada dalam alun-alun bunder ini (saat ini) adalah alun-alun oleh rakyat kecil, kawulo alit dianggap sebagai ruang untuk mengadukan nasib dimana mereka bisa melakukan protes dengan cara ‘pepe’, berjemur diri di alun-alun sampai raja menghampiri mereka, terlihat dengan seringnya “wilayah luar pagar” alun-alun yang digunakan untuk berdemonstrasi~biasanya didepan gedung DPRD Kota Malang yang berada disamping kanan Balaikota Malang.
Hal lain yang tidak terdapat di Alun-alun Bunder ini adalah tempat ibadah, sepengetahuan saya, setiap kali mengunjungi kota-kota di Jawa, tempat ibadah (yang pada umumnya masjid) selalu mendampingi alun-alun, entah kalau saya salah.
(1) Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 177
(2) Wiryomartono, Seni bangunan dan Seni Binakota di Indonesia: Kajian mengenai konsep, struktur, dan elemen fisik kota sejak peradaban hindu-buddha, Islam hingga sekarang (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 22-26
(3) Erica Bogaers and Peter de Ruijter, “Ir. Thomas Karsten and Indonesia Town Planing, 1915-1940” dalam Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 172
Bagi warga pribumi Kota Malang yang taat memeluk ajaran Islam, maka wilayah Eropa semacam societeit atau bioskop adalah wilayah terlarang. Bagi kalangan ini perilaku Eropa yang berada di societeit adalah perilaku penuh dosa, dan wilayah tersebut tergolong wilayah haram dan harus dihindari.(1)
Citra yang dibangun melalui bangunan-bangunan kolonial malah meredup dengan munculnya Societeit dan Bioscoop Rex yang pada dasarnya malah membentuk kesadaran rakyat pribumi untuk melakukan perlawanan, kesadaran ini semakin menjadi-jadi ketika ada larangan bagi mereka untuk masuk ke kawasan kolonial tersebut.
Dengan hilangnya citra itu penguasa kolonial mulai mengabaikan makna kultural alun-alun yang pada akhirnya diinterpretasikan hanya sebagai ruang terbuka biasa, hal ini ditunjukkan dengan ditempatkannya jalur trem yang membelah alun-alun dalam posisi diagonal dari pojok barat laut hingga ke tenggara, bahkan halte trem dibangun persis di tengah-tengah alun-alun.
Sebagai tindak lanjut, pada tahun 1914 dalam rencana pembangunan (bouwplan) yang terdiri dari delapan tahapan pembangunan tata ruang kota, terdapat rencana pembangunan untuk menyiapkan pusat pemerintahan kota (balaikota) yang kemudian lebih dikenal dengan Gouverneur-Generaalbuurt, kawasan alun-alun ‘bunder’.
Setelah Kota Malang menyandang status gemeente pada 1914 maka dilaksanakanlah gagasan pemindahan pusat pemerintahan. Dan pada tahun 1922, pemerintahan Kota Malang pindah ke kawasan Alun-alun Bunder, terciptalah dua buah alun-alun di Kota Malang.
Keberadaan Alun-alun Bunder beserta kantor gemeente yang persis berada di selatan-nya terasa aneh karena keberadaannya justru seperti mengembalikan Kota Malang pada konsep kota tradisional Jawa yang sebenarnya. Kota-kota tradisional Jawa biasanya dibangun menghadap kea rah utara membelakangi laut selatan, sehingga alun-alun berada di utara kraton atau pendopo kabupaten, yang apabila ditarik sebuah garis imajiner maka akan menghubungkan laut selatan, kraton/pendopo,dan gunung.(2)
Belakangan hal ini diketahui terkait dengan konseptor pembangunan itu sendiri, Thomas Karsten yang berlatar belakang seorang sosialis-demokrat yang sangat anti kolonial.(3) dari sini terdapat upaya untuk kembali ke gagasan asli kota Jawa yang sebelumnya telah dirusak oleh sebuah rancang bangun kolonialis.
Perkembangan selanjutnya, pemaknaan alun-alun ini pun bergeser pada taman kota yang hingga artikel ini ditulis ‘demikian’ adanya. Air mancur yang pada masa kolonial digunakan sebagai penghias, kini telah menjadi sebentuk tugu yang menjulang tinggi ditengah alun-alun, disekitarnya dihias oleh taman bunga dan “berpagar.”
Fungsi yang masih tetap ada dalam alun-alun bunder ini (saat ini) adalah alun-alun oleh rakyat kecil, kawulo alit dianggap sebagai ruang untuk mengadukan nasib dimana mereka bisa melakukan protes dengan cara ‘pepe’, berjemur diri di alun-alun sampai raja menghampiri mereka, terlihat dengan seringnya “wilayah luar pagar” alun-alun yang digunakan untuk berdemonstrasi~biasanya didepan gedung DPRD Kota Malang yang berada disamping kanan Balaikota Malang.
Hal lain yang tidak terdapat di Alun-alun Bunder ini adalah tempat ibadah, sepengetahuan saya, setiap kali mengunjungi kota-kota di Jawa, tempat ibadah (yang pada umumnya masjid) selalu mendampingi alun-alun, entah kalau saya salah.
(1) Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 177
(2) Wiryomartono, Seni bangunan dan Seni Binakota di Indonesia: Kajian mengenai konsep, struktur, dan elemen fisik kota sejak peradaban hindu-buddha, Islam hingga sekarang (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 22-26
(3) Erica Bogaers and Peter de Ruijter, “Ir. Thomas Karsten and Indonesia Town Planing, 1915-1940” dalam Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 172
Tidak ada komentar:
Posting Komentar