Kamis, 29 Desember 2011

Profil Kota Malang

Kota Malang, Terletak pada ketinggian antara 429 - 667 meter diatas permukaan air laut. 112,06° - 112,07° Bujur Timur dan 7,06° - 8,02° Lintang Selatan. Berada 90 km sebelah selata kota Surabaya.
Sebagaimana kebanyakan kota-kota di Jawa, Kota Malang banyak menyimpan bangunan-bangunan bersejarah.
Dikelilingi oleh pegunungan yang menjadi pemandangan tersendiri bagi masyarakat ataupun bagi para wisatawan, di sebelah timur terdapat Gunung Semeru dengan cirri khas kepulan asapnya yang menjadi pemisah antara wilayah Kabupaten Malang dengan Kabupaten Probolinggo dan sebagian Kabupaten Lumajang. Dan disebelah barat terdapat Gunung Arjuna yang gagah seakan sedang menunggui seorang putri yang sedang tertidur pulas di sebelah barat daya Kota Malang: Gunung Putri Tidur, yang merupakan gugusan bukit. Mungkin sang Arjuna sedang bermeditasi menunggui Srikandi yang tertidur, inilah lukisan yang ditampilkan oleh alam kepada masyarakat Malang.
Gunung Putri Tidur, pada bagian kepalanya merupakan Gunung Kawi yang sering dikunjungi oleh wisatawan ataupun orang yang sengaja ingin mencari ‘pesugihan’, dan pada bagian kaki adalah ‘Gunung Panderman’~begitu orang sering bilang, pada dasarnya Panderman adalah bukit yang terletak di Kota Batu, dari sejarahnya bukit ini ditemukan oleh orang berkebangsaan Belanda, Van Dermaan, dan merupakan tempat berkemah. Konon kera yang terdapat di hutan Panderman adalah kera yang dikirim oleh kerajaan Singosari untuk menghambat gempuran kerajaan Kediri.
Didalam Kota Malang sendiri banyak terdapat bangunan-bangunan peninggalan kolonial Belanda ataupun bangunan yang telah ada sejak jaman Kolonial, seperti Masjid agung Jami’ yang terletak dipusat kota, didepan masjid adalah alun-alun~sebagaimana ciri khas kota-kota di Jawa, alun-alun merupakan pusat simpul jalan, yang membedakan dengan kota lain di Jawa adalah dimana Kota Malang memiliki dua alun-alun.
Nama Kota Malang sendiri sampai saat ini masih belum menemukan kesepakatan tentang asal-usulnya, tapi dari beberapa hipotesa nama ‘Malang’ diambil dari semboyan ‘malangkucecwara’ yang berarti ‘Tuhan menghancurkan yang bathil, menegakkan yang benar’. Semboyan ‘malangkucecwara’ sendiri diyakini merupakan nama dari sebuah bangunan suci yang sampai saat ini belum diketahui letaknya. Disamping itu semua, Kota Malang pernah dijuluki Paris van East Java, karena kondisi alamnya yang indah, iklimnya yang sejuk dan kotanya yang bersih bagaikan ‘Paris’nya Jawa Timur.
Candi-candi peninggalan kerajaan Singosari dan situs lain seperti Pertitaan Ken Dedes berada di wilayah Kabupaten Malang, masing-masing tersebar di Singosari dan Tumpang.
Dalam perang mempertahankan kemerdekaan, Kota Malang merupakan basis gerilya yang merupakan titik strategis, baik bagi para pejuang Indonesia maupun bagi aggressor Belanda, yang menarik dari perang ini adalah bahasa sandi yang sampai sekarang menjadi ciri unik ‘arek-arek Malang’ yaitu bahasa ‘walikan’ atau bahasa sandi yang cara pengucapanya dibalik. Laskar-laskar rakyat seperti Hizbullah dan Sabilillah pun memiliki pusat di Kota Malang meskipun pada pembentukkannya berada di Surabaya.
Inilah Kota Malang dengan beragam catatan sejarahnya, sebagaimana yang ditulis oleh seorang penyair:

Angin mengalir
sertakan rindu
yang dulu ku titipkan
mengapung bersama bayangmu

di luar hujan turun dengan malas
aku berteduh pada atap angan
dimana seharusnya mampu ku genggam
hangat cintamu

Malang,
meski berganti nama
rindu ku takkan hilang arah (Yoehan Rianto Prasetyo)

Oleh: Septiyan Anshori

Tentang alun-alun II (Alun-alun Bunder Kota Malang)

Upaya pemerintah kolonial membangun citra melalui media alun-alun menemui hambatan yang berarti dengan didudukinya alun-alun oleh masyarakat pribumi. Perlawanan kultural dilakukan oleh masyarakat ketika ideologi agama juga memasuki wilayah ini.
Bagi warga pribumi Kota Malang yang taat memeluk ajaran Islam, maka wilayah Eropa semacam societeit atau bioskop adalah wilayah terlarang. Bagi kalangan ini perilaku Eropa yang berada di societeit adalah perilaku penuh dosa, dan wilayah tersebut tergolong wilayah haram dan harus dihindari.(1)
Citra yang dibangun melalui bangunan-bangunan kolonial malah meredup dengan munculnya Societeit dan Bioscoop Rex yang pada dasarnya malah membentuk kesadaran rakyat pribumi untuk melakukan perlawanan, kesadaran ini semakin menjadi-jadi ketika ada larangan bagi mereka untuk masuk ke kawasan kolonial tersebut.
Dengan hilangnya citra itu penguasa kolonial mulai mengabaikan makna kultural alun-alun yang pada akhirnya diinterpretasikan hanya sebagai ruang terbuka biasa, hal ini ditunjukkan dengan ditempatkannya jalur trem yang membelah alun-alun dalam posisi diagonal dari pojok barat laut hingga ke tenggara, bahkan halte trem dibangun persis di tengah-tengah alun-alun.
Sebagai tindak lanjut, pada tahun 1914 dalam rencana pembangunan (bouwplan) yang terdiri dari delapan tahapan pembangunan tata ruang kota, terdapat rencana pembangunan untuk menyiapkan pusat pemerintahan kota (balaikota) yang kemudian lebih dikenal dengan Gouverneur-Generaalbuurt, kawasan alun-alun ‘bunder’.
Setelah Kota Malang menyandang status gemeente pada 1914 maka dilaksanakanlah gagasan pemindahan pusat pemerintahan. Dan pada tahun 1922, pemerintahan Kota Malang pindah ke kawasan Alun-alun Bunder, terciptalah dua buah alun-alun di Kota Malang.
Keberadaan Alun-alun Bunder beserta kantor gemeente yang persis berada di selatan-nya terasa aneh karena keberadaannya justru seperti mengembalikan Kota Malang pada konsep kota tradisional Jawa yang sebenarnya. Kota-kota tradisional Jawa biasanya dibangun menghadap kea rah utara membelakangi laut selatan, sehingga alun-alun berada di utara kraton atau pendopo kabupaten, yang apabila ditarik sebuah garis imajiner maka akan menghubungkan laut selatan, kraton/pendopo,dan gunung.(2)
Belakangan hal ini diketahui terkait dengan konseptor pembangunan itu sendiri, Thomas Karsten yang berlatar belakang seorang sosialis-demokrat yang sangat anti kolonial.(3) dari sini terdapat upaya untuk kembali ke gagasan asli kota Jawa yang sebelumnya telah dirusak oleh sebuah rancang bangun kolonialis.
Perkembangan selanjutnya, pemaknaan alun-alun ini pun bergeser pada taman kota yang hingga artikel ini ditulis ‘demikian’ adanya. Air mancur yang pada masa kolonial digunakan sebagai penghias, kini telah menjadi sebentuk tugu yang menjulang tinggi ditengah alun-alun, disekitarnya dihias oleh taman bunga dan “berpagar.”
Fungsi yang masih tetap ada dalam alun-alun bunder ini (saat ini) adalah alun-alun oleh rakyat kecil, kawulo alit dianggap sebagai ruang untuk mengadukan nasib dimana mereka bisa melakukan protes dengan cara ‘pepe’, berjemur diri di alun-alun sampai raja menghampiri mereka, terlihat dengan seringnya “wilayah luar pagar” alun-alun yang digunakan untuk berdemonstrasi~biasanya didepan gedung DPRD Kota Malang yang berada disamping kanan Balaikota Malang.
Hal lain yang tidak terdapat di Alun-alun Bunder ini adalah tempat ibadah, sepengetahuan saya, setiap kali mengunjungi kota-kota di Jawa, tempat ibadah (yang pada umumnya masjid) selalu mendampingi alun-alun, entah kalau saya salah.


(1)    Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 177
(2)    Wiryomartono, Seni bangunan dan Seni Binakota di Indonesia: Kajian mengenai konsep, struktur, dan elemen fisik kota sejak peradaban hindu-buddha, Islam hingga sekarang (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 22-26
(3)    Erica Bogaers and Peter de Ruijter, “Ir. Thomas Karsten and Indonesia Town Planing, 1915-1940” dalam Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 172

Tentang Alun-alun Kota Malang

  • Tentang Alun-alun Kota Malang

    Sebagaimana kota-kota di Jawa, Kota Malang juga memiliki alun-alun yang keberadaannya sering kali digambarkan sebagai inti kota atau “pusat” kekuasaan karena letaknya persis di depan kraton ataupun pendopo kabupaten yang jika diibaratkan: kraton atau pendopo kabupaten sebagai rumah, maka alun-alun adalah halamannya, keberadaan alun-alun menjadi sangat penting sebab alun-alun adalah pusat yang mengawali perkembangan kota.
    Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Jo Santoso, ada beberapa  kesimpulan mengenai alun-alun, pertama alun-alun melambangkan ditegakkannya sebuah sistem kekuasaan atas sebuah wilayah kekuasaan tertentu, tujuan dari penegakkan sistem kekuasaan tersebut dirupakan/dilaksanakan dengan harmonisasi antara mikrokosmos dan makrokosmos. Kedua, alun-alun berfungsi sebagai tempat semua perayaan dan upacara keagamaan yang penting. Ketiga, alun-alun merupakan tempat untuk mempertontonkan kekuasaan militer yang bersifat profane dan merupakan instrument dalam mempraktikkan kekuasaan sakral sang penguasa.(1)
    Sebagai ruang yang memiliki sifat khusus dalam konsep kekuasaan, maka pemerintahan kolonial Belanda menaruh perhatian sejak mulai melaksanakan kekuasaannya di tanah air, dimanfaatkan untuk digelarnya kekuasaan baru di Jawa dengan ditandai dengan pembangunan rumah residen yang berhadapan langsung dengan kraton atau pendopo kabupaten. Dan hal ini secara simbolik diikuti pula dengan kenyataan yang berbeda, terkait dengan pemaknaan alun-alun itu sendiri. Alun-alun yang tadinya sangat formal dengan beragam ritual, menjadi ruang terbuka yang juga dimanfaaatkan oleh masyarakat untuk mencari mata pencaharian. Lebih urban dan pragmatis, bahkan gaya Eropa dimana penempatan simbol-simbol gaya hidup juga sempat diusung untuk memenuhi tampilan wajah alun-alun, hal ini terlihat di sekitar alun-alun Kota Malang yang lebih diwarnai dengan berdirinya pertokoan-pertokoan~hingga ketika artikel ini ditulis, keadaan juga semacam ‘demikian’.
    Alun-alun utama Kota Malang memiliki perbedaan dengan alun-alun kebanyakan kota di Jawa, Alun alun yang dibangun pada tahun 1882(2) ini memiliki konteks dan konsep yang tidak lazim, dimana letak bangunan penting seperti pendopo kabupaten tidak berhadapan dengan kantor asisten residen, letak kantor residen berada di sebelah selatan alun-alun, sedangkan pendopo kabupaten terletak di sebelah timur dan tidak menghadap alun-alun.
    Ada kemungkinan pembangunan alun-alun ini untuk kepentingan pemerintah kolonial, dimana Belanda ingin membentuk citra kolonial, alun-alun sebagai pusat kekuasaan administrasi kolonial, dan sebagai pusat kontrol atas produksi~dibuktikan dengan dibangunnya Javasche Bank dan Escompto Bank pada tahun 1915 yang terletak di utara alun-alun.(3)
    Pembentukan citra ini juga dimungkinkan untuk meruntuhkan kewibawaan penguasa lokal yang pada akhirnya (tanpa diduga sebelumnya) memberi peluang bagi rakyat untuk melakukan penaklukan terhadap ‘pencitraan’ itu sendiri, hal ini dibuktikan dengan ‘pendudukan’ alun-alun oleh para pedagang makanan dan minuman. Inilah perlawanan nyata yang terjadi di alun-alun, meski bukan perlawanan fisik/perang, oleh para pedagang. Hingga saat ini, kehadiran para pedagang di alun-alun masih menjadi warna tersendiri bagi para pengunjung.
    Segala upaya dilakukan oleh pemerintahan kolonial untuk membentuk citra dengan tumbuhnya bangunan administrasi yang mengitari alun-alun.
    Kecuali Masjid Agung yang terletak di sebelah barat alun-alun, semua bangunan yang mengitari alun-alun adalah bangunan untuk kepentingan dan citra kolonial. Citra itu muncul beberapa lama setelah alun-alun Kota Malang dibangun pada 1882. Pada 1912 dibangun Gereja Protestan yang terletak di pojok luar barat laut alun-alun, di sebelah utara Masjid Agung, tepatnya di Aloon-aloon Koelon Straat. Keberadaan gereja ini sangat kuat mencitrakan dominasi ritual barat (Kristen) atas ritual pribumi yang disimbolkan oleh masjid yang berdiri jauhsebelum gereja tersebut berdiri.(4)
    Usaha pemerintah kolonial untuk mendominasi ‘citra’ ini malah memunculkan kesadaran dalam masyarakat untuk melawan, tentunya merupakan perlawanan kultural~sebagaimana sifat budaya orang Jawa yang menabukan perlawanan secara fisik, ataupun melakukan aksi protes, hal ini dikenal dengan istilah ‘pasemon’ atau mengkritik secara halus.
    Hingga artikel ini ditulis pun, alun-alun masih menjadi ruang terbuka bagi masyarakat meluangkan waktu untuk berwisata sekaligus merupakan tempat mencari rejeki bagi para pedagang.


    (1)    Jo Santoso, Arsitektur-Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa Jakarta: Centropolis, 2008), hlm 176
    (2)    Dewan Pemerintah Kota Malang, 40 Tahun Kota Malang (Malang: DPK Malang, 1954), hlm. 13
    (3)    Handinoto dan Paulus H. Soehargo, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang (Yogyakarta: ANDI, 1996), hlm. 52
    (4)    Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 175

gurauwan mmu

gurawanmu membuat q terpaku
seyumu seakan menusuk hati q
tatapan mu terpanah jiwa raga q

dia yg q kagumi
q hawa yg terpanah cinta
terpanah akan bayanganmu
detik,esok,sekarang
bayangmu tampakan q
terkandung aku leleh menunggu
dan kapan ucapan itu di dengar hatiku

kamu

q bingun akan seyummu
hatiku berkata_________
apakah dia syang pada q????
q bingungkan tingkahmu
hatiku berkata
apa yg dia mau
q bingung dengan tatap mukamu
hatiku berkata__________
adahkah rasa di benaku???
setiap waktu q lalui dengan tanya
tak seorang pun yg tahu
apa yg terjadi pada q

air mata

air mata bukan akhir dri jawaban
air mata bukan akhir permasalahan
aku thu itu
apakah ia merasakan itu???
saat q mengenalmu aku bahagia
di saat aku begitu dekat denganmu
aku begitu yakin aku akan bahagia sepenuhnya
karena kau sahabat terbaiku

tapi kini
kerinduan membelengguku selalu
menerjang ombak lautan tak mampu aku tahu itu
itulah usahaku untuk mendapatkanmu
jika kau tahu itu
aku serasa mengembara dalam kesuyian
mencari segala perhatianmu
dengan tertatih-tatih
hingga kenangan itu sunyi
sampai kapan SOBAT????

oooohhhh

kuimpikan dirimu bagiku dekat dengan q
q dekat berlahan
kedamaian serasa hanya milikku
kala q tatap sekerlip cahaya di kelopak matamu
kala kulihat seyum manis mu
kurasa dlm setiap detak jantung q
membakar seluruh jiwa raga q
mengikuti setiap aliran darah q